Herman Neubronner van der Tuuk, penerjemah Injil dalam bahasa Batak. Foto KITLV. Tanah Batak pernah kedatangan tamu asing. Matanya sipit dan berkulit kuning. Orang Batak setempat menyebutnya dengan panggilan “Si Pandortuk”. Tapi siapa nyana, pendatang asing itu ternyata memiliki darah Belanda. Nama lengkapnya Herman Neubronner van der Tuuk. Bermodal pengetahuan bahasa Batak pesisir dan disertai seorang pedagang Melayu, van der Tuuk tiba di Lembah Bakara pada Februari 1853. Van der Tuuk jadi orang Eropa pertama yang menyaksikan keberadaan Danau Toba –tempat yang bagi pendatang asing saat itu tidak lebih dari kabar burung. Sebelum van der Tuuk, orang Batak Toba gigih merahasiakan petunjuk arah ke Danau Toba. “Mereka menganggap itu sebagai tempat tinggal para dewa dan kekuatan yang mengendalikan dunia,” tulis van der Tuuk dalam suratnya suratnya tanggal 23 Juli 1853 kepada Profesor Jan van Gilse, sekretaris Lembaga Alkitab Belanda dikutip Beekman dalam Fugitive Dreams An Anthology of Dutch Colonial Literature. Selain melihat Danau Toba dan rumah-rumah Bolon yang megah bak istana, van der Tuuk mendapati apa yang dicarinya. Dia bercengkerama dengan para datu dukun adat yang menyalin tulisan kitab kulit kayu yang disebut pustaha. Gambaran peradaban Batak diperolehnya melalui pustaha sejarah penciptaan, cerita rakyat, pranata sosial, hingga mantra-mantra. Pengalamannya memasuki jantung Tanah Batak yang keramat itu meneguhkan niatan van der Tuuk untuk melanjutkan tugas mulia yang sempat tertunda. Mata van der Tuuk kian tercelik untuk menerjemahkan Injil, bagian dari kitab suci agama Kristen. Bagi penganut Kristen, Injil adalah kabar keselamatan yang memberitakan penebusan umat manusia dari dosa oleh Yesus Kristus. “Sekarang aku yakin untuk menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Batak Toba,” kata van der Tuuk di bagian akhir suratnya kepada van Gilse. Pekerjaan yang semula dibencinya. Menjadi Penerjemah Injil Van der Tuuk lahir di Malaka pada 24 Oktober 1824 ketika wilayah itu dikuasai Belanda. Ayahnya, Selfridus van der Tuuk, seorang Belanda totok. Sedangkan ibunya, Loisa Neubronner, keturunan Eurasia berdarah Melayu. Setelah Malaka ditukar dengan Bengkulu lewat Traktat London, van der Tuuk menghabiskan masa kecilnya di Surabaya. Pada usia 15 tahun, van der Tuuk menamatkan sekolah formalnya. Dia diterima di jurusan hukum Universitas Groningen sesuai keinginan ayahnya. Namun di tengah jalan dia lebih tertarik mendalami studi linguistik. Sejak 1845, van der Tuuk mempelajari bahasa-bahasa Timur seperti Ibrani, Arab, dan Sansekerta di Universitas Leiden. Setahun kemudian, publikasi perdananya diterbitkan. Kemampuan van der Tuuk menguasai bahasa tidak terlepas dari daya ingatnya yang luar biasa. “Dia mempunyai fotografi memori,” tulis Beekman. Bakat van der Tuuk menarik Nederlands Bijbelgenootschap NBG/Lembaga Alkitab Belanda untuk mempekerjakannya. Saat itu, NBG membutuhkan beberapa ahli bahasa untuk menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Makassar, Batak, Dayak, dan Bugis. Atas rekomendasi dosennya di Leiden, van der Tuuk menjadi utusan NBG untuk meneliti bahasa Batak. Pada 8 Desember 1847, van der Tuuk menandatangani kontrak dengan NBG. Dia ditugaskan membuat kamus bahasa Batak beserta tata bahasanya. Selanjutnya, dia diharuskan menerjemahkan kitab Injil Perjanjian Baru ke dalam dialek bahasa Batak. “Van der Tuuk tidak pernah menyenangi instruksi kedua penugasannya. Sikapnya terhadap agama Kristen tidak begitu positif dan selama hidupnya kemudian antipatinya menjadi lebih kuat,” tulis Andries Teeuw, linguis dan kritikus sastra Indonesia terkemuka, dalam pengantar buku van der Tuuk A Grammar of Batak Toba, cetakan 1971. Toh, van der Tuuk tetap menerima tawaran itu dengan pertimbangan pragmatis. Bekerja di Hindia Belanda memberinya kesempatan untuk mengunjungi keluarganya. Lagi pula, NBG membayarnya sebesar gulden setahun untuk pekerjaan yang dia senangi. Honor yang cukup besar pada zaman itu. Di Tanah Batak Setibanya di Sumatra pada 1851, van der Tuuk ditempatkan di Barus. Demi pengumpulan bahan penelitian, dia melakukan apa saja untuk mendapatkan kepercayaan rakyat lokal. Dengan berjalan kaki, van der Tuuk melintasi seluruh kawasan Tanah Batak. Si Pandortuk atau Raja Tuk –demikian orang-orang Batak memanggilnya– menerima siapa saja yang bertandang ke rumahnya. Pergaulan yang akrab dengan orang Batak menyebabkan van der Tuuk menentang penggunaan bahasa Melayu. Laporannya kepada NBG disertai kritik mengenai sikap pejabat Belanda yang tidak mengetahui bahasa Batak dan watak rakyatnya. “Bila pemerintah ingin memajukan orang-orang pribumi maka para pejabat hendaklah menyapa hati mereka dan itu tidak akan terjadi selagi mereka masih mempergunakan bahasa Melayu pasar. Kita terlalu sombong untuk bergaul dengan orang pribumi secara erat dan memahirkan bahasanya kita anggap barang sepele saja. Perkawinan kita dengan untung laba telah mencekik setiap perhatian untuk orang pribumi,” tulis van der Tuuk kepada NGB dikutip Rob Nieuwenhuys dalam Bianglala Sastra Bunga Rampai Sastra Belanda tentang Kehidupan di Indonesia. Van der Tuuk pula yang mendesak agar misi zending segera mengutus penginjilnya ke Tapanuli. Dia juga menganjurkan agar para penginjil itu setibanya di Tapanuli mengawini gadis-gadis Batak dan memelihara babi untuk membendung pengaruh Islam dari arah selatan. Desakan ini dilatari rasa frustrasinya menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Batak. Dalam suratnya kepada NBG, 27 Maret 1854, van der Tuuk menyebut kesulitan menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Batak karena tidak ada kata yang dapat ditemukan dalam bahasa ini, misalnya untuk menjelaskan kata surga, neraka, dan keabadian. “Saya merasa bahwa suatu terjemahan Alkitab yang sesungguhnya baru membuahkan hasil setelah ada pengaruh dari para zendeling,” tulis van der Tuuk, dikutip Kees Groeneboer, “Dari Radja Toek sampai Goesti Dertik” termuat dalam Jurnal Humaniora Vol. 14, No. 2, 2002. Pada April 1857, van der Tuuk memutuskan ambil cuti ke Belanda. Dia membawa 152 pustaha dan 29 manuskrip bahasa untuk diolah. Di masa ini, dia menerbitkan karya literaturnya tentang linguistik Batak Bataksch-Nederduitsch Woordenboek Kamus Batak-Belanda, 1861 dan Tobasche Spraakkunst Tata Bahasa Toba, 1864. Dia juga menjadi linguis pertama yang merancang aksara Batak. Dalam Bataksch Leesboek Buku Bacaan Batak, 1860, dia membaginya ke dalam tiga set berdasarkan sub-etnis Angkola-Madailing, Toba, dan Pakpak. Selain itu, beberapa kitab Injil berhasil diterjemahkannya, yaitu Kejadian, Keluaran, Yohanes, dan Lukas. Menurut Uli Kozok, filolog Universitas Hawaii, tata bahasa Batak Toba karya van der Tuuk merupakan gramatika pertama mengenai salah satu bahasa lokal di Hindia Belanda yang disusun secara ilmiah. “Ini sungguhlah merupakan prestasi yang luar biasa mengingat bahwa zaman van der Tuuk menyusun tata bahasanya, Tanah Batak masih merupakan terra in cognita tanah yang tidak diketahui di peta ilmiah,” tulis Kozok dalam Warisan Leluhur Sastra Lama dan Aksara Batak. Pada 1861, seorang pendeta muda bernama Ludwig Inger Nommensen mengunjungi van der Tuuk di Amsterdam. Sang pendeta muda mau belajar bahasa dan budaya Batak. Nommensen kelak dikenal sebagai misionaris paling berhasil di Tanah Batak. Namun dibalik itu, ada sosok van der Tuuk, linguis telaten yang kendati mengaku ateis, telah membuka pintu bagi penyebaran agama Kristen di Tanah Batak.
Kataini tidak muncul di dalam kamus webster sampai akhir tahun 1957 Orang beriman menyebarkan Islam melalui berbagai saluran Seharusnya kita bangga sebagai warga Indonesia yang mimiliki banyak kebudayaan yang unik bahkan dalam sisi mistis pun menjadi bagian dari kebudayaan Indonesia yang menarik perhatian masyarakat serta turis mancan negara
ANALISIS STRUKTURAL DAN FUNGSI TERHADAP CERITA RAKYAT BATAK TOBA Mulajadi Na Bolon, Datu Parngongo, dan Angkalau Skripsi Oleh Daniel Simanullang 050701012 DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010 Universitas Sumatera Utara PERNYATAAN Bersama ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini belum ditulis untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh. Medan, Sepetember 2009 Daniel Simanullang Universitas Sumatera Utara ANALISIS STRUKTURAL DAN FUNGSI TERHADAP CERITA RAKYAT BATAK TOBA Mulajadi Na Bolon, Datu Parngongo, dan Angkalau Oleh Daniel Simanullang 050701012 Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar sarjana dan telah di setujui oleh Pembimbing I, Pembimbing II, Dra. Peraturen Suka Piring, NIP 19441208 197412 2 001 Sitepu, NIP 19560403 198601 1 001 Departemen Sastra Indonesia Ketua Dra. Nurhayati Harahap, M. Hum. NIP 19621419 198703 2 001 Universitas Sumatera Utara PRAKATA Skripsi “Analisis Struktural dan Fungsi Terhadap Cerita Rakyat Batak Toba Mulajadi Na Bolon, Datu Parngongo, dan Angkalau” ini ditulis untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana sastra di Fakultas Sastra USU Medan. Untuk itu peneliti memanjatkan puji dan syukur atas selesainya penelitian ini. Skripsi ini membahas struktur dan fungsi yang ada dalam cerita rakyat Batak Toba. Cerita tersebut memiliki struktur yang sama dengan struktur karya sastra lainnya dan fungsi bagi masyarakat yang memilikinya. Untuk menyelesaikan penelitian ini, peneliti dibantu berbagai pihak baik dukungan moral dan material, untuk itu peneliti mengucapkan terima kasih kepada 1. Prof. Syaifuddin, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, PD I Drs. Aminullah, PD II Drs. Samsul Tarigan, dan PD III Drs. Parlaungan Ritonga, M. Hum. 2. Dra. Nurhayati Harahap, selaku Ketua Departemen dan Dra. Mascahaya, selaku Sekretaris Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. 3. Dosen Pembimbing skripsi I Dra. Peraturen Sukapiring, dan Dosen Pembimbing skripsi II Drs. Gustaf Sitepu, M. Hum. 4. Dosen pembimbing akademik peneliti, Dra. Anni Krisna Siregar almarhumah dan Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, 5. Seluruh staf pengajar dan pegawai administrasi di Departemen Sastra Indonesia USU. 6. Prof. Ahmad Samin Siregar, Drs. D. Syahrial Isa, dan Drs. Kabar Bangun† Universitas Sumatera Utara 7. Seluruh staf dan pegawai di Departemen Sastra Indonesia USU. 8. Keluarga besar Op Samuel Simanullang/br. Lbn Gaol dan Op Bonor Simanullang/br. Purba/br. Hutasoit . 10. Lae Gaol dan Ito R. Br. Manullang sebagai sosok orang tua pengganti bagi peneliti beserta keponakan,Yuda, Kevin, Lucy, dan Agnes. 11. Sosok yang sangat bermakna bagi peneliti, Melati Veronika Pakpahan dan keluarga. 12. Sahabat yang mewarnai hari-hari peneliti, Rikardo02, Baim, Ori, Tukimein, Zack, K’Rapi, Vina, Intan, Lilis, Eni, Lady, Sabrun,Wira, David, Reza, semua anak stambuk 2005, anak KBT Gopal, Jumadi, dan kawan-kawan, T “O”bang Awaluddin, PSS, Gemapala, adik-adik 06, 07, 2008, 2009 Dwi dan Lina yang mengajarkan Bahasa Melayu dan semua pihak yang tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu. Akhirnya, dengan kebesaran hati, penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran senantiasa penulis harapkan dari Bapak/Ibu serta pembaca. Mudah-mudahan bermanfaat bagi pembaca. Medan, February 201 Penulis Daniel Simanullang Universitas Sumatera Utara ANALISIS STRUKTURAL DAN FUNGSI TERHADAP CERITA RAKYAT BATAK TOBA Mulajadi Na Bolon, Datu Parngongo, dan Angkalau Oleh Daniel Simanullang Abstrak Kata Kunci Foklore, motifeme, Batak Toba, struktural, dan fungsi Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis struktur cerita rakyat Batak Toba dan fungsi cerita rakyat tersebut bagi masyarakat yang memilikinya dalam hal ini masyarakat Batak Toba. Penganalisisan ini diharapkan menambah bahan bacaan pembaca, peneliti tentang struktur dan fungsi cerita rakyat. Penelitian ini diharapkan mampu meperkaya refrensi ilmu sastra khususnya mata kuliah folklore. Teknik penelitian dilakukan dengan analisis deskriptif dengan mencatat data hasil analisis dalam kartu data yang terlebih dahulu naskah dibaca dengan metode pembacaan heuristik dan hermeneutik. Analisis dilakukan dengan memilah-milah struktur cerita rakyat sesuai dengan teori sturuktural Propp dan mengelompokkanya secara sederhana dalam motifeme-motifeme yang disampaikan oleh Alan Dundes. Kemudian dilanjutakan dengan penelitian berdasarkan teori fungsi yang disampaikan oleh William R. Bascom berdasarakan apa yang ada dalam cerita tersebut dan untuk melegitimasi teori fungsi tersebut peneliti menyebarkan angket dengan metode acak terhadap kelompok yang sesuai dengan syarat yang ditentukan peneliti dalam angket tersebut. Sehingga dari penganalisisan data tersebut dapat diperoleh hasil sebagai berikut. Cerita rakyat Batak Toba memiliki kesamaan bentuk motifeme-motifeme dengan cerita rakyat lainnya. Setiap bagian memiliki hubungan sebab akibat yang ditandai dengan adanya pelanggaran dan konsekuensi yang diterima akibat pelanggaran tersebut. Dari hasil analisis dapatlah disimpulkan bahwa cerita rakyat Batak Toba memiliki kesamaan motifeme/ function dengan cerita rakyat lainnya. Fungsi yang ada pada cerita rakyat memiliki fungsi yang sama dengan apa yang dijelaskan oleh William R Bascom dalam teori fungsi mengenai cerita rakyat. Universitas Sumatera Utara DAFTAR ISI PERNYATAAN ABSTRAK PRAKATA ....................................................................................................... i DAFTAR ISI .................................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1 Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1 Rumusan Masalah ................................................................................. 4 Pembatasan Masalah ............................................................................. 5 Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................................. 5 Tujuan Penelitian ......................................................................... 5 Manfaat Penelitian ...................................................................... 4 Manfaat Teoritis ............................................................... 5 Manfaat Praktis ............................................................... 6 BAB II KONSEP,LANDASAN TEORI, dan TINJAUAN PUSTAKA.......... 7 Konsep .................................................................................................. 7 Struktur ........................................................................................ 7 Fungsi .......................................................................................... 7 Folklore........................................................................................ 8 Batak Toba ................................................................................... 8 Landasan Teori ...................................................................................... 9 Tinjauan Pustaka ................................................................................... 13 BAB III METODE PENELITIAN .................................................................. 15 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................. 15 Universitas Sumatera Utara Lokasi Penelitian ........................................................................ 15 Waktu Penelitian ......................................................................... 15 Teknik Pengumpulan Data ..................................................................... 15 Teknik Analisis Data .............................................................................. 17 BAB IV PEMBAHASAN ................................................................................. 25 Struktur Cerita Rakyat Batak Toba ........................................................ 25 Cerita Rakyat Debata Mulajadi Nabolon ...................................... 25 Struktur Cerita Legenda Datu Parngongo ..................................... 43 Struktur Cerita Dongeng Angkalau ............................................... 54 Analisis Fungsi ..................................................................................... 65 BAB V SIMPULAN dan SARAN .................................................................... 78 kesimpulan ............................................................................................. 78 Saran ..................................................................................................... 79 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 81 Universitas Sumatera UtaraKitasemua tahu, Indonesia tak hanya kaya akan beragam bahasa, suku, makanan maupun tarian tapi juga memiliki warisan budaya. Salah satunya adalah cerita rakyat yang turun temurun disampaikan secara lisan oleh orang tua, kakek atau guru di sekolah.. Pada umumnya, cerita rakyat bersifat anonim atau pengarangnya tidak dikenal. Home » Sudut Pandang » Cerita dari Batak Toba Gender, Perempuan, dan Budaya Patriarki Laki-laki dan perempuan dibedakan berdasarkan gender, diantaranya sifat biologis, fisik dan psikis. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan tersebut sering melahirkan perdebatan apalagi di era saat ini. Perdebatan peran akhirnya memunculkan beberapa paham dan budaya, salah satunya budaya patriarki. Budaya ini berlaku pada suku Batak Toba. Perempuan Batak Toba mendapat diskriminasi gender dalam adat. Seorang istri harus selalu berada di bawah otoritas suami, serta saudara perempuan harus menghormati saudara laki-laki dan memiliki peran di bagian dapur sebagai parhobas pelayan dalam setiap acara kekeluargaan. Budaya patriarki adalah sistem yang memposisikan laki-laki sebagai pemilik otoritas dan kekuasaan dalam setiap aspek kehidupan. Perempuan dalam sistem ini tidak memiliki kebebasan dan selalu berada di bawah kuasa laki-laki. Di zaman prasejarah saat manusia masih belum mengenal tulisan, kedudukan perempuan dan laki-laki sama. Hal tersebut diperkuat oleh tulisan Simon de Beauvoir dalam bukunya The Second Sex, yang dikutip oleh Tobing 199991-92. Perempuan pada zaman itu memiliki peran penting seperti melahirkan, mengurus keluarga, dan menjahit pakaian bagi keluarganya. Sedangkan laki-laki bertugas mencari makan dan melindungi keluarga dari hal-hal di luar. Selain itu, pemegang otoritas dalam keluarga adalah perempuan. Namun peran tersebut dianggap sederajat, karena masing-masing memiliki keunggulan dalam aspek kehidupan. Setelah terjadi kemajuan zaman, pekerjaan perempuan tergantikan dengan adanya alat-alat yang bisa membantu. Majunya teknologi saat itu membuat laki-laki menjadi lebih dominan dan peran perempuan menurun. Banyak pekerjaan perempuan yang digantikan laki-laki dengan bantuan alat. Kesenggangan peran tersebut terus terjadi sampai lahirnya revolusi industri di Inggris, peran perempuan dalam membuat pakaian pun tergantikan oleh kemajuan teknologi saat itu. Derajat perempuan menjadi di bawah laki-laki, bahkan laki-laki dihormati seperti raja dalam keluarga Tobing 199991-92. Budaya tersebut berbalik setelah lahirnya revolusi industri di Inggris, saat itu alat-alat yang dapat membantu pekerjaan manusia bermunculan, sehingga pekerjaan perempuan banyak yang tergantikan dengan memanfaatkan alat-alat yang ada. Majunya industri saat itu berdampak pada peran laki-laki yang lebih menonjol dari pada perempuan. Sistem tersebut akhirnya terus berkembang dan diturunkan ke setiap generasi sebagai adat istiadat yang harus dilakukan. Di Indonesia sendiri budaya patriarki masih sangat kental meskipun sebelumnya sudah ada pelopor emansipasi wanita yakni Kartini, tapi tetap saja banyak yang memandang perempuan sebagai makhluk lemah yang hanya bisa dijadikan objek. Perempuan dianggap tidak layak memimpin dan tidak akan pernah bisa menyaingi laki-laki dalam berbagai aspek. Segala yang berhubungan dengan sosial, ekonomi, dan politik adalah ranah laki-laki, sedangkan perempuan hanya boleh fokus pada ranah domestik. Budaya patriarki ini banyak terjadi di berbagai daerah, suku, bahkan bangsa. Bahkan dari banyaknya suku di Indonesia beberapa di antaranya juga masih menganut budaya patriarki. Salah satu suku yang terkenal dengan patriarkinya adalah suku Batak. Suku Batak cukup dikenal dengan suku yang masih memegang kuat adat istiadat dan budayanya. Ke mana pun dan di mana pun, suku Batak tetap kental dengan adatnya. Selain itu, suku Batak juga dikenal sebagai suku yang orang-orangnya banyak merantau ke hampir setiap daerah di Indonesia. Khususnya di pulau Jawa. Saat merantau pun orang-orang Batak di perantauan tidak melupakan dan tidak lepas dari adat istiadatnya. Bahkan mereka membuat kumpulan-kumpulan Batak berdasarkan marga atau tempat tinggal. Suku Batak sendiri terbagi berdasarkan wilayahnya, yaitu Batak bagian selatan, timur dan utara Danau Toba. Bagian selatan yaitu Batak Toba dan Angkola. Bagian timur Batak Simalungun, sedangkan bagian utara Batak Karo dan Batak Dairi atau biasa disebut Pak-pak. Suku Batak Toba adalah salah satu yang paling menonjol dan sering terdengar namanya. Budaya patriarki dalam suku Batak khususnya Batak Toba bisa dibilang masih melekat dan telah berkembang menjadi tradisi. Dalam suku Batak Toba terdapat sistem kekerabatan yang menampilkan budaya patriarki yaitu Dalihan Na Tolu dalam bahasa Indonesia berarti Tungku Nan Tiga. Tiga unsur dalam Dalihan Na Tolu diantaranya – Manat Mardongan Tubu kerabat satu marga, artinya memelihara hubungan antar kerabat satu marga khususnya laki-laki. – Elek Marboru anak perempuan, artinya membujuk dan mengayomi saudara perempuan. – Somba Marhula-hula keluarga perempuan, saudara perempuan harus hormat kepada saudara laki-laki dan orang tua. Sistem kekerabatan tersebut masih sangat kental digunakan dan diterapkan suku Batak sebagai sikap dalam memperlakukan orang lain. Dua diantaranya dilakukan setelah ada pernikahan, yaitu Elek Marboru dan Somba Marhula-hula. Dua unsur tersebut merupakan cerminan patriarki antara saudara laki-laki dan saudara perempuan. Dalam setiap acara adat biasanya saudara perempuan tidak begitu dipandang dan hanya sebagai tamu yang tidak banyak ikut andil dalam acara utama, tapi memegang peran di dapur atau sering disebut parhobas yang artinya pelayan. Sedangkan saudara laki-laki menjadi raja dan tokoh utama dalam acara adat. Itu harus dan mutlak. Dalam adat masyarakat Toba, perempuan dipandang sebagai anak yang berada di urutan kedua, sedangkan anak laki-laki di urutan pertama, bahkan dianggap raja. Anak laki-laki dalam suku Batak sangat diagungkan dan diharapkan. Hal ini terjadi karena laki-laki memiliki peran besar dalam membawa dan meneruskan nama keluarga atau biasa disebut marga. Marga adalah identitas berharga dan penting dalam suku Batak. Sebagai tanda kekerabatan marga hanya diturunkan dari laki-laki. Anak perempuan dalam suku Batak Toba dianggap penting dalam hal menghasilkan penerus bagi marga para laki-laki. Bisa dikatakan dalam satu keluarga dipandang cacat jika tidak memiliki anak laki-laki, tapi tidak berpengaruh jika tidak memiliki anak perempuan. Untuk anak perempuan, marga hanya akan berhenti sampai mereka saja, bahkan setelah menikah mereka akan lebih dikenal lewat marga laki-laki atau suami. Setelah menikah, anak perempuan akan ikut sepenuhnya ke keluarga suami karena dia telah dibeli dengan sinamot, sehingga dia tidak begitu wajib dalam membantu mengurus orang tua, tapi wajib mengurus mertua. Patriarki antara suami dan istri di suku Batak Toba tidak jauh berbeda dengan suku dan daerah lainnya. Perempuan harus mengurus rumah dan keluarga, melayani suami dengan baik, patuh, dan hormat terhadap suami tanpa bantahan apapun. Laki-laki sebagai pemimpin yang memegang kendali dan aktif terjun ke publik. Saat ini, zaman semakin berkembang dan semakin banyak yang memperdebatkan bahkan menyatakan dengan terang-terangan kontra terhadap budaya patriarki. Perempuan pun sudah mulai muncul dan terlibat dalam hal-hal umum di masyarakat, begitupun perempuan Batak Toba. Bahkan dalam beberapa kejadian perempuan Batak sering dianggap lebih keras dan bijak daripada laki-laki, terutama dalam hubungan rumah tangga. Namun dalam adat istiadat terutama dalam sistem Dalihan Na Tolu, kedudukan perempuan masih belum mengalami perubahan atau mungkin tidak akan mengalami perubahan. Adat istiadat yang telah lama diturunkan dan sangat kental dalam suku Batak membuat budaya patriarki tersebut akan terus berlangsung. Pihak perempuan Batak pun sejauh ini masih menerima dan merasa layak diperlakukan seperti itu. Referensi Simanjuntak, R. S. R. 2021. Eksistensi Perempuan Batak Toba di Parlemen Kabupaten Samosir dalam Budaya Patriarki. Romaia, N. N. 2001. POSISI PEREMPUAN DALAM ADAT DAN KEBUDAYAAN MASYARAKAT BATAK TOBA Studi Deskriptif Tentang Subordinasi Perempuan Batak Toba di Yogyakarta Dilihat dari Sistem Ke. kerabatan Daliban Na Tolu Doctoral dissertation, UAJY. Dalamsuku Batak Toba terdapat sistem kekerabatan yang menampilkan budaya patriarki yaitu Dalihan Na Tolu dalam bahasa Indonesia berarti Tungku Nan Tiga. Tiga unsur dalam Dalihan Na Tolu diantaranya: - Manat Mardongan Tubu (kerabat satu marga), artinya memelihara hubungan antar kerabat satu marga khususnya laki-laki.
Hello, Sobat Ilyas! Apa kabar hari ini? Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas tentang bahasa Batak, bahasa yang digunakan oleh suku Batak di Indonesia. Bahasa ini sangat kaya akan budaya dan tradisi yang unik, dan telah menjadi bagian penting dari sejarah Indonesia. Mari kita pelajari lebih lanjut tentang bahasa Batak. Asal Usul Bahasa Batak Bahasa Batak berasal dari suku Batak yang tinggal di Sumatera Utara. Bahasa ini memiliki dialek yang berbeda-beda, tergantung pada wilayah di mana suku Batak tersebut tinggal. Bahasa Batak juga memiliki banyak pengaruh dari bahasa-bahasa tetangga, seperti bahasa Melayu, Jawa, dan Minangkabau. Ciri Khas Bahasa Batak Bahasa Batak memiliki ciri khas yang unik dan mudah dikenali. Salah satu ciri khasnya adalah penggunaan kata hu’ atau ho’ sebagai kata sapaan. Selain itu, bahasa Batak juga memiliki banyak kata-kata yang memiliki arti ganda, tergantung pada konteks dan cara pengucapannya. Budaya dan Tradisi Bahasa Batak Bahasa Batak sangat erat kaitannya dengan budaya dan tradisi suku Batak. Bahasa ini sering digunakan dalam upacara adat, seperti pernikahan, kematian, dan pertanian. Selain itu, bahasa Batak juga digunakan dalam seni dan sastra, seperti lagu-lagu tradisional dan pantun. Pengaruh Bahasa Batak di Indonesia Bahasa Batak telah memberikan pengaruh yang besar dalam kebudayaan Indonesia. Bahasa ini telah menjadi bagian penting dari sejarah Indonesia, terutama dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda. Selain itu, bahasa Batak juga telah memberikan kontribusi dalam seni dan sastra, seperti dalam lagu-lagu daerah dan cerita rakyat. Belajar Bahasa Batak Jika Sobat Ilyas tertarik untuk belajar bahasa Batak, ada beberapa cara yang bisa dilakukan. Salah satunya adalah dengan mempelajari kosakata dan tata bahasa dasar. Selain itu, Sobat Ilyas juga bisa mempraktikkan bahasa Batak dalam percakapan sehari-hari dengan teman atau keluarga yang berasal dari suku Batak. Kesimpulan Itulah beberapa hal yang perlu Sobat Ilyas ketahui tentang bahasa Batak. Bahasa yang kaya akan budaya dan tradisi suku Batak ini sangat menarik untuk dipelajari dan dipraktikkan. Mari kita lestarikan bahasa Batak sebagai bagian penting dari sejarah dan kebudayaan Indonesia. Sampai jumpa kembali di artikel menarik lainnya!BacaJuga:Cerita Lucu Lawak Batak Tentang Pandita 8. Bapa mancukur jambang Piga taon parpudi on, sengaja dipasombu bapa ni si Tigor jenggot, kumis, dohot jambangna sampai ganjang. Jadi disada tikki di cukur abis ibana ma sude. Dung mulak sian tukang pangkas, dibereng ibana ma anakna si Tigor lagi marmeam di alaman jolo ni jabu.